".....orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram" (13:28) ".........(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih..(29:88-89)

Kamis, 24 November 2011

Imam Bukhari, Sang Pahlawan Pengumpul Hadits

 
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
 
"... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan"                     (QS. Al Mujaadilah (58): 11)
 
Sumber dari segala sumber hukum yang utama atau yang pokok di dalam agama Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain sebagai sumber hukum, Al-Qur’an dan As- Sunnah juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang universal. Isyarat sampai kepada ilmu yg mutakhir telah tercantum di dalamnya. Oleh karenanya siapa yang ingin mendalaminya, maka tidak akan ada habis-habisnya keajaibannya.
Untuk mengetahui As-Sunnah atau hadits-hadits Nabi, maka salah satu dari beberapa bagian penting yang tidak kalah menariknya untuk diketahui adalah mengetahui profil atau sejarah orang-orang yang mengumpulkan hadits, yang dengan jasa-jasa mereka kita yang hidup pada jaman sekarang ini dapat dengan mudah memperoleh sumber hukum secara lengkap dan sistematis serta dapat melaksanakan atau meneladani kehidupan Rasulullah untuk beribadah seperti yang dicontohkannya.
Untuk itu pada beberapa edisi kali ini, kami sajikan secara berturut-turut Profile Sejarah Hidup Enam Tokoh Penghimpun Hadits yang paling terkenal serta Sekilas Penjelasan Tentang Kitab Hadits-nya yang masyur.
Abad ketiga Hijriah merupakan kurun waktu terbaik untuk menyusun atau menghimpun Hadits Nabi di dunia Islam. waktu itulah hidup enam penghimpun ternama Hadits Sahih yaitu:

    * Imam Bukhari
    * Imam Muslim
    * Imam Abu Daud
    * Imam Tirmizi
    * Imam Nasa’i
    * Imam Ibn Majah

Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadits itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu’minin fil-Hadits (pemimpin orang mukmin dalam hadits), suatu gelar ahli hadits tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja’fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Karena itulah ia dikatakan “al-Mughirah al-Jafi.”
Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadits. Ia belajar hadits dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at- Tarikh al-Kabir.
Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara’ (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan takwa. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun uang yang haram maupun yang subhat.” Dengan demikian, jelaslah bahwa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’. Tidak heran jika ia lahir dan mewrisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum’at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo’a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata: “Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do’amu yang tiada henti- hentinya.” Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididikl oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadits. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadits, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra’yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.
Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma karena tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua karena Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami’as-Sahih dan pendahuluannya.
Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahwa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahwa ia pernah berkata: “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”

Rabu, 16 November 2011

Al Malik ( Seri Asma'ul Husna 2)


لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ     

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.  (QS. Al Ma'idah(5):120)


Betapa sering manusia menyangka bahwa segala yang dimilikinya senantiasa abadi, sehingga tidak terbersit dalam hatinya bahwa ada yang lebih berhak memilikinya, Dia lah Allah, Yang Maha Menggenggam segala sesuatu, Dia lah yang berhak memiliki segala apa yang kita anggap hak milik kita. 

Dalam riwayat Muslim dikisahkan, pada suatu ketika putera kesayangan sahabat Abu Thalhah ra.  meninggal dunia. Ummu Sulaim, istrinya,  tidak langsung memberi tahu suaminya yang baru pulang dari bepergian. Ketika Abu Thalhah datang, disambutnya dengan suka cita, dijamu dengan hidangan makanan sebagaimana mestinya,  bercengkerama seoalah-olah tidak ada kejadian yang mencurigakan, sampai berlanjut  ke hubungan suami istri seperti biasanya.
Kemudian, setelah Abu Thalhah merasa puas barulah ia berkata, ”Hai Abu Thalhah bagaimana  menurut pendapatmu, jika seseorang meminjamkan sesuatu kepada satu keluarga, tiba-tiba diminta kembali pinjamannya itu, apakah boleh keluarga yang dipinjami menolak?” Abu Thalhah menjawab, ”Tidak boleh !” Berkata Ummu Sulaim, ”Relakan puteramu kepada Allah.” Maka marahlah Abu Thalhah sambil berkata, ”Mengapa kau sembunyikan berita itu hingga saya berlumuran begini baru kau beri tahu?”
Segera, setelah itu Abu Thalhah melaporkan kejadian tersebut  kepada Baginda Rasulullah SAW. Maka Baginda Rasulullah SAW berdoa, ”Semoga Allah memberkahi kamu berdua dalam harimu itu.” Kemudian mengandunglah Ummu Sulaim dari hubungan intim malam itu. Di kemudian hari, anaknya itu menikah dan dikaruniai sembilan orang anak yang semuanya hafal Alquran.

Daqri riwayat di atas, merupakan pelajaran bagi seorang muslim agar senantiasa rida atas segala keputusan Allah SWT. ”Jika manusia rida akan keputusan-Nya, Allah SWT pun rida terhadap manusia itu. Hal ini sebagaimana keridaan Allah SWT kepada para sahabat nabi,” ujarnya seraya mengutip salah satu firman Allah SWT, ”Allah berfirman, 
 قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

 "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar,” (QS Al Maidah: 119).

Sikap ridla seorang muslim atas segala keputusan Allah SWT, merupakan bukti pengakuannya akan sifat Allah Al Malik, raja di atas raja yang bersifat mutlak. 
Menurut akar kata, malik berasal dari kata malaka, yammiku yang berarti memiliki dan menguasai.
Maka Al Malik mengandung makna bahwa Allah SWT itu Maha Menguasai dan Maha Memiliki. Dia yang memulai, Dia pula yang meniadakan, Dia yang menghidupkan, Dia pula yang mematikan, hanya Allah SWT yang berkuasa memberikan siksa dan pahala. Sedangkan lainnya adalah obyek. Allah SWT yang menciptakan manusia, Dia pula yang akan mematikan manusia, Dia la Maha Penggenggam segala sesuatu.
Karena Allah SWT Maha Penggengam  segalanya,  Dia pula yang berhak mengatur segalanya. Sehingga ketika seorang muslim kehilangan anaknya karena telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, dia tidak boleh memprotes Allah SWT, karena anak adalah milik Nya. Tegasnya, Allah SWT yang berhak memutuskan suatu hal, tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi keputusan Nya.

Minggu, 13 November 2011

Indahnya Menata Hati

Menata hati hendaknya ditanamkan setiap hari. Semakin tertata hati, semakin terarah hidup ini, dan semakin kita mengabaikan penataan hati, maka semakin jauhlah dari ketenangan hidup ini.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. ( QS. Ar Ra'd (13):28)

Sesungguhnya yang mengetahui dan melihat baik tidaknya hati  adalah Allah swt., sama halnya dengan diterima tidaknya amal manusia.Tetapi, manusia harus memiliki pegangan yang kuat bahwa apabila hati baik, maka baiklah seluruh amal perbuatan manusia, sedangkan apabila buruk hati, maka rusaklah seluruh amal. Sabda Rasul SAW:

Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, “ kata Nabi kita صلى الله عليه وسلم , “Bila ia baik, akan baik seluruh jasadnya. Dan bila ia rusak, akan rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati. “ (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599


Begitupan dengan kehidupan kelak di akhirat, ketika tidak ada yang dapat menyelamatkan manusia, tidak bergunanya harta dan keturunan, kecuali dengan hati yang selamat.

يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ
إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

 (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,  kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, ( QS. Asy Su'ara (26) : 88-89)

Maka, sesungguhnya ukuran kuat dan lemahnya iman sesorang, dapat diukur dengan hati, semakin kuat hatinya maka kemampuan serta kekuatan semangatnya makin kuat, karena kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati.

Lalu, bagaimanakah kita menata hati agar menjadi orang yang selamat hidup dunia, selamat akhirat? Hendaklah kita mulai dengan meluruskan niat, menguatkan akidah, serta mempertebal benteng iman, dengan cara melatih diri dengan mengedepankan kekuatan tauhid, menjauhi segala macam perbuatan syirik, menjauhi perbuatan dan sikap sombong dengan berlaku dan bersikap tawadlu (rendah hati), menyingkirkan lintasan hati yang menggiring kita berprasangka buruk, iri hati dan dengki yang akan melenyapkan segala amal kebaikan. Sesungguhnya Rasul saw bersabda : ”Sifat dengki memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu”. Khusus mengenai dengki, hakikat dengki  adalah bila sesorang tidak menyukai nikmat Allah atas saudaranya sehingga ingin nikmat itu hilang darinya. Apabila ia tidak membenci pada sudaranya dan tidak menginginkan lenyapnya, tetapi ingin seperti itu, maka inilah dinamakan iri, maka tidak heran kalau nabi mensinyalir lewat haditsnya dengan sabda : ”Orang mukmin iri, sedang orang munafik mendengki”. 

Sifat iri, dengki ini ada pada setiap manusia namun kadarnya berbeda-beda sesuai dengan tingkat keimanan dan ketakwaan dirinya, iri dengki merupakan fitrah manusia, setiap manusia memilikinya. Untuk menghilangkan iri dengki obatnya harus dengan ilmu. Karena semua penyakit hati bisa diobati dengan ilmu. Tanpa ilmu manusia tidak akan selamat.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian. (HR.Muslim no. 2564)

dari berbagai sumber.@2009

Kamis, 10 November 2011

Makna Tahun Baru Hijriyah


الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah….” (Q.S.al-Taubah (9):20)
Satu Muharam atau tahun baru Hijriah ditandai dengan pindahnya Nabi Muhammad SAW dari Makah ke Madinah 14 abad silam. Di samping itu, setiap menyambut datangnya tahun baru Hijriah selalu didahului oleh dua peristiwa penting dalam Islam, yaitu:
  • Idul Fitri, 1 Syawal sebagai akhir puasa.
  • Idul Adha, 10 Zulhijah puncak pelaksanaan ibadah haji.

Baik Idul Fitri maupun Idul Adha kalau diamati lebih dalam memiliki makna dan hubungan yang erat dengan satu Muharam, datangnya tahun baru Islam.
Seseorang yang akan pindah, selayaknyalah dia mempersiapkan bekal. Pindah untuk menuju satu tahun ke depan, tentu dia dituntut lebih siap lagi. Bekal yang diwajibkan Allah untuk persiapan satu tahun adalah ibadah puasa dan haji. Ibadah puasa bertujuan agar kita mampu mengendalikan hawa nafsu, sedangkan ibadah haji untuk melawan dan menundukkan godaan syaitan yang terkutuk.
Puasa memang dikhususkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist,
”Pada bulan puasa syatan-syaitan diikat, sedangkan pintu-pintu Surga dibuka.” (H.R. Bukhari).
Allah mengikat syaitan selama bulan puasa agar seseorang memusatkan dirinya mengendalikan hawa nafsu yang berasal dari dalam dirinya, yaitu nafsu perut dan seks. Apabila masih terjadi kemaksiatan dimana-mana di bulan suci Ramadhan, berarti manusia-manusia itu sendiri tabiatnya sudah sama dengan syaitan,  karena disebutkan dalam surat An-Naas [114]: ayat 6,

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
mengandung makna bahwa syaitan itu terdiri dari 2 golongan, golongan jin dan golongan manusia.
Setelah selesai mengendalikan hawa nafsu, diharapkan kita semua “lulus” dihari yang fitri (1 syawal) menjadi insan yang ber “taqwa” , kita kemudian dituntut untuk menghadapi dan bahkan melenyapkan musuh yang berasal dari luar, yaitu godaan syaitan. Kendati godaan syaitan dan nafsu sama-sama tidak tampak, keduanya berbeda dalam cara dan tujuan.
Syaitan tidak puas hanya dengan satu cara. Kalau gagal dengan satu cara, dia mencari jalan lain agar berhasil. Dan kalau sudah berhasil, dia berusaha agar hasil godaan itu semakin maksimal, syaitan tidak akan puas sebelum berhasil menyesatkan umat Mumammad sebanyak-banyaknya untuk masuk ke Neraka.
Berbeda halnya dengan nafsu. Jika sudah terpenuhi nafsunya, maka sang nafsu tidak menuntut yang lebih besar lagi. Misalkan seseorang yang mempunya nafsu makan karena lapar, dia hanya membutuhkan sepiring nasi untuk memenuhi nafsunya dan ketika seseorang bernafsu untuk mendapatkan suatu jabatan, akan merasa puas kalau jabatan itu sudah terpenuhi, dan seterusnya.
Cara untuk melawan godaan syaitan tidak dengan berpuasa, tetapi yang paling afdol dengan ibadah haji. Salah satu wajib haji adalah melempar jumrah di Mina yang melambangkan mengusir & melawan syaitan. Syaitan berada di luar diri kita. Karena itu, kita perlu mempersiapkan senjata untuk melawannya, yaitu batu. Dalam puasa, kita dituntut untuk mengendalikan hawa nafsu bukan melenyapkannya. Tapi, pada saat haji, kita dituntut untuk mengalahkan syaitan dan sekaligus melenyapkannya. Mengendalikan hawa nafsu diwajibkan setiap tahun, sedangkan memerangi syaitan hanya sekali seumur hidup dengan ibadah “haji”.
Setelah keduanya dapat ditaklukkan, berarti kita sudah siap hijrah ke tahun berikutnya. Dengan demikian, ketika menyambut tahun baru 1 Muharam, kita memulai kegiatan dengan bekal yang matang, program yang jelas, dan penuh dengan rasa percaya diri…dengan “hati yang bersih”
Sungguh Allah SWT telah mengatur urutan-urutan itu, yakni mulai dari perintah puasa dan Idul Fitrinya, kemudian Haji dan Idul Adha dengan menyembelih hewan qurban, akhirnya menyambut tahun baru Hijrah dalam puncak ke “taqwa”an.. Kondisi puncak ketaqwaan inilah yang harus kita pertahankan sejak memasuki tahun baru Hijriyah hingga 11 bulan kedepan sampai ketemu bulan suci Ramadhan lagi… Kondisi seperti ini…berulang-ulang sepanjang tahun, menjadi hamba Allah yang bertaqwa ini terus-menerus kita pertahankan hingga ajal menjemput kita.. insya Allah kalau bisa seperti ini… kita dimatikan Allah SWT dalam keadaan khusnul khatimah (akhir yang baik), amin.

Sejarah dan Semangat Hijrah

Bulan Muharram bagi umat Islam dipahami sebagai bulan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yang sebelumnya bernama “Yastrib”. Sebenarnya  kejadian hijrah Rasulullah tersebut terjadi pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul awal. Adapun pemahaman bulan Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena bulan Muharram adalah bulan yang pertama dalam kalender Qamariyah yang oleh Umar bin Khattab, yang ketika itu beliau sebagai khalifah kedua sesudah Abu Bakar, dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun Hijriah.

Makna Tahun Baru
Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka”. HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani.
Dari hadits di atas telah jelas bahwa umat Islam tidak boleh berprilaku sama atau menyerupai dengan kaum lain seperti halnya merayakan tahun baru masehi.
Islam memiliki penanggalan sendiri. Dalam sejarahnya, ketika Umar bin khothob menjabat Kepala Negara mencapai tahun ke 5 beliau mendapat surat dari Sahabat Musa Al As’ari Gubernur
Kuffah, adapun isi suratnya adalah sebagai berikut :
KATABA MUSA AL AS’ARI ILA UMAR IBNUL KHOTHOB. INNAHU TAKTIINA MINKA KUTUBUN LAISA LAHA TAARIIKH.
Artinya: Telah menulis surat Gubernur Musa Al As’ari kepada Kepala Negara Umar bin Khothob. Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari kamu beberapa surat-surat tetapi surat-surat itu tidak ada tanggalnya.
Kemudian Kholifah Umar bin Khothob mengumpulkan para tokoh-tokoh dan sahabat-sahabat yang ada di Madinah.
Umar bin Khothob untuk mengadakan musyawarah.”Didalam musyawarah itu membicarakan rencana akan membuat Tarikh atau kalender Islam. Dan didalam musyawarah muncul bermacam-macam perbedaan pendapat. Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Ada yang berpendapat sebaiknya tarikh Islam dimulai ari tahun lahirnya Nabi Muhammad SAW.
Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rosululloh. Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari Rosululloh di Isro Mi’roj kan .
Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Imam Ali Karamallohu Wajha berpendapat, sebaiknya kalender Islam dimulai dari tahun Hijriyahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah atau pisahnya negeri syirik ke negeri mukmin. Pada waktu itu Mekkah dinamakan Negeri Syirik, bumi syirik.
Akhirnya musyawarah yang dipimpin oleh Amirul Mukminin Umar Bin Khothob sepakat memilih awal yang dijadikan kalender Islam adalah dimulai dari tahun Hijriyah nya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Kemudian kalender Islam tersebut dinamakan Tahun Hijriyah.
Dengan mengetahui sejarah di atas, maka selaku umat Islam seharusnya kita dapat berbuat dan bertindak dengan cermat untuk memaknai pergantian tahun. Terutama tahun baru Islam.

Meluruskan Sejarah Muharam

Sebentar lagi kita akan menyongsong bulan Muharam. Ada dua pendapat berkenaan dengan bulan ini. Kelompok pertama menyebutkan bahwa bulan Muharam merupakan tahun baru umat Islam yang banyak dirayakan dengan pesta dan penuhnya ungkapan kebahagiaan. Mereka beranggapan bahwa hari-hari kejayaan Islam sedang berada di depan pintu.
Rasulullah saw bersabda, “Kalian akan mengikuti cara-cara orang kafir sesiku-sesiku, sejengkal-demi sejengkal kalian akan digiring untuk mengikuti tradisi orang kafir (Yahudi dan Nasrani) sehingga walaupun kalian dibawa ke lubang serigala kalian akan mengikutinya dengan patuh.” Al-Asykari menyebutkan salah satu tradisi orang Yahudi dan Nasrani adalah mengubah-ubah kitab Allah. Kemudian orang Islam melanjutkan tradisi orang kafir itu dengan mengubah makna kitab Allah, dan mengubah huruf serta kalimat di dalam hadis Nabi. Tradisi peringatan tahun baru Islam sebenarnya mengikuti tradisi orang Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya di dalam Islam tidak ada tradisi memperingati tahun baru Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa nenek moyang kita pun tidak memperingatinya, bahkan dalam sejarah Islam di Indonesia tidak dikenal tradisi memperingati tahun baru Islam ini. Peringatan tahun baru Islam itu baru dirayakan belakangan ini. Mengapa harus merayakannya? Salah seorang dai menyebutkan bahwa “umat Islam jangan kalah sama umat Nasrani yang memperingati tahun barunya secara besar-besaran dan Umat Islam harus memperingati tahun baru Islam secara besar-besaran pula”. Jadi, menurut dia, peringatan tahun baru meniru orang Nasrani. Nabi berkata, ”Sekiranya di kalangan ahli kitab itu dulu ada anak yang menzinahi ibunya, maka akan terjadi hal yang sama di kalangan umat Islam juga.” Tradisi membuka aurat, tidak memakai jilbab boleh jadi diambil sebagian dari tradisi meniru orang-orang Barat.
Ada beberapa kekeliruan anggapan umat Islam tentang tahun baru Islam. Kekeliruan pertama bahwa tradisi peringatan tahun baru Islam harus dirayakan seperti halnya orang Nasrani merayakan tahun barunya. Kedua, umat Islam banyak yang menganggap bahwa hijrah Rasulullah saw terjadi pada bulan Muharam, sehingga pada bulan ini banyak pengajian yang menceritakan peristiwa hijrahnya Nabi saw. Nabi hijarah bukan pada bulan Muharam, melainkan pada bulan Rabi’ul Awal. Tidak ada satu pun mazhab yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah pada bulan Muharam. Jadi, kalau ingin memperingati hijrah Nabi semestinya dirayakan pada bulan Rabi’ul Awal. Kekeliruan itu mungkin memiliki asal muasalnya dari kitab-kitab hadis. Di dalam Bukhari diceritakan ketika Nabi datang ke kota Madinah dan beliau melihat di kota itu ada orang-orang Yahudi sedang berpuasa. Nabi bertanya kepada mereka, ”Puasa apa yang kalian kerjakan?” Mereka menjawab, ”Kami melakukan puasa ‘Asyura (sepuluh Muharam), untuk mensyukuri keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.” Nabi saw berkata, ”Aku lebih layak untuk melakukan puasa daripada saudaraku Musa.” Dalam riwayat lain Nabi berkata, ”Aku akan berpuasa pada waktu yang akan datang.” Hadis ini mesti kita tolak, karena Nabi itu hijrah pada bulan Rabi’ul awal, tidak mungkin orang puasa sepuluh Muharam pada bulan Rabi’ul Awal, semesti tidak mungkinnya orang salat Jumat pada hari Senin. Karena alasan hadis itulah, sekelompok orang mengembangkan satu ideologi untuk menjadikan sepuluh Muharam hari kemenangan umat Islam, hari untuk pesta pora, dan hari untuk berbahagia.
Sebagian mubalig pun menceritakan bahwa tanggal sepuluh Muharam Nabi Musa diselamatkan dari Fir’aun, Ibrahim diselamatkan dari Namrudz dan Nabi Nuh selamat dari air bahnya, dan Nabi Adam diampuni dosa-dosanya. Sepuluh Muharam dianggap sebagai hari kemenangan orang-orang saleh. Sehingga tidaklah heran bahwa pada tanggal sepuluh Muharam dipindahkan menjadi tahun baru Islam karena kemenangan orang-orang saleh.
Pendapat kedua, berkenaan dengan bulan Muharam, mereka beranggapan bahwa bulan ini adalah bulan duka cita, bulan musibah. Karena pada bulan ini keluarga Rasulullah saw dibantai secara mengenaskan oleh sesama muslim, orang yang menyatakan dirinya orang Islam. Peristiwa ini terjadi pada tanggal sepuluh Muharam.
Sepuluh Muharam, menurut kelompok ini, bukanlah hari untuk bercanda dan bergembira, melainkan hari untuk menangis dan berduka cita. Pada kelompok kedua tidak ditemukan hadis-hadis yang menyatakan sepuluh Muharam itu adalah hari kemenangan para nabi. Yang mereka ketahui pada hari itu, kalau kemenangan diukur dengan kekejaman dan kekuasaan yang tidak terbatas, maka apakah sepuluh Muharram memang hari kemenangan ?. Karena ini terbukti Nabi Hijrah pada bulan Rabiul awal bukan pada bulan Muharram mengapa hal ini terjadi ? adakah kebenaran dalam risalah perayaan ini atau kegembiraan yang selama ini kita rayakan bersama ?

Kepahlawanan dalam Islam

Sahabat...
Puja dan puji syukur kita kepada Allah swt. Berkat nikmat dan rahmat-Nya berupa iman dan Islam, kesehatan, kesempatan, keamanan, dan teramat banyak nikmat yang tak dapat kita hitung, sehingga  kita diberi kemampuan  melaksanakan kewajiban selaku hamba Allah, ubtuk beribadah kepada Nya, dan semoga kita juga diberi kemampuan untuk menjalankan perintah dan menjauhi segala apa yang dilarang Nya.

Shalawat serta salam mari kita limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, nabi akhir zaman, imam para rasul, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.

Sahabat...
Tanggal 10 Nopember ini, kita diingatkan akan sebuah hari yang bersejarah, yakni hari Pahlawan. Kepahlawanan dalam Islam, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Ini merupakan sebuah tema yang menarik untuk dikaji, mengingat sebagian bangsa kita cenderung mereduksi dan mempersempit makna pahlawan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pengertian Pahlawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang berjuang dengan gagah berani dalam membela kebenaran. Atas rujukan tersebut,  menjadi pahlawan adalah hal yang memungkinkan bagi setiap orang, tidak mengenal latar belakang sosial, siapapun dapat menjadi seorang pahlawan. Dalam konteks kenegaraan/kebangsaan, seorang pahlawan yang beriman kepada Allah swt yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini di dalam al-Qur’an adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah (fî sabîl-i ‘l-Lâh). Seperti yang tercatat dalam QS al-Baqarah: 154:
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ
 
"Dan janganlah kalian sekali-kali mengatakan bahwa orang-orang yang berjuang (terbunuh) di jalan Allah itu mati melainkan mereka hidup tetapi kita tidak merasakan".
Sesungguhnya para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, yang kita tahu maupun yang tidak kita tahu, mereka hidup, hidup di hati kita.

Sahabat...

Lantas, apa pelajaran yang dapat kita petik dari para pahlawan bangsa kita. Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan sebuah cerita. Alkisah, seorang raja Persia yang bernama Kisrâ Anû Syirwân melakukan observasi ke rumah-rumah para penduduk kerajaannya. Ketika ia tiba di satu rumah, di sana ia menemukan seorang kakek yang menanam pohon di halaman rumah tersebut. Sang raja tertawa dan bertanya, "Wahai kakek, kenapa kau menanam sebuah pohon yang akan berbuah 10-20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, sedangkan kau mungkin tahun depan sudah mati dan kau tidak dapat menikmati buah-buahan dari pohon yang telah kau tanam?". Dengan penuh senyum dan optimisme sang kakek menjawab, "Wahai raja, laqad gharas-a man qabla-nâ fa akal-nâ wa naghris-u nahn-u li-ya’kul-a man ba‘da-nâ, orang-orang sebelum kita telah menanam pohon dan buah-buahan dari pohon tersebut kita nikmati sekarang maka kita menanam kembali pohon yang buah-buahannya akan dinikmati oleh orang-orang setelah kita".

Dari cerita di atas kita dapat memetik sebuah pelajaran bahwa kemerdekaan ibarat sebuah pohon yang telah ditanam oleh para pahlawan bangsa ini kendati pun mereka tidak pernah menikmatinya melainkan kenikmatan tersebut kita rasakan sekarang.

Oleh karena itu, mulai saat ini marilah kita bersama-sama berbuat untuk orang lain, orang-orang setelah kita. Marilah kita bersama-sama menanam pohon untuk mereka agar mereka dapat menikmati buah-buahan dari tanaman kita, hasil dari perbuatan kita, karena apa yang kita nikmati saat ini adalah hasil-hasil dari tanaman orang-orang sebelum kita.

Semoga uraian sederhana ini bermanfaat bagi kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada allah swt. Wa ‘l-Lâh-u a‘lam-u bi ‘l-shawâb

Sumber asli diambil dari intisari teks khutbah Jumat di Universitas Paramadina. Jakarta, 21 Nopember 2008
Dida Darul Ulum@Blogspot.com

Sabtu, 05 November 2011

Khutbah Arafah

KH. Abdullah Gymnastiar
Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad wa'ala aalihi washahbihii ajmai'iin. Tiada Tuhan selain Allah SWT. Yang Maha Menatap dan menggenggam diri kita semua. Yang menguasai Segala-galanya.

Maha Suci Allah yang menggenggam langit dan bumi, Maha Agung Allah yang menciptakan, yang menguasai apapun yang ada di semesta alam ini. Semoga Allah yang Maha mendengar menjadikan siapapun yang berada di Arafah ini, maupun yang menyimak di seluruh penjuru bumi menjadi orang-orang yang yakin-seyakinnya bahwa kita adalah makhluk ciptaan Allah, bahwa kita hamba Allah, bahwa kita hanya akan bahagia dan mulia jikalau kita berusaha menggapai dan memburu ridha Allah.

Saudaraku, dari jauh kita datang ke tempat ini, ribuan kilometer kita tempuh, kita siang-malam berlelah-lelah menantikan saat utama ini, kita keluarkan tabungan yang kita tabung puluhan tahun menabungnya, untuk mencari apa? Mengapa lelah menjadi bahagia, mengigil kedinginan menjadi bahagia mengapa? Kita keluarkan harta menjadi bahagia. Sebab kita datang untuk mencari ridha Allah.

Tetapi mengapa sepulang dari haji atau hari-hari kita yang dilalui jauh dari kebahagiaan, jauh dari kemuliaan. Mengapa rumah kita tidak menjadi sumber kebahagiaan. Mengapa rumah tangga yang kita bangun pun tidak menjadi sumber kebahagiaan, mengapa sumber ilmu yang kita cari tidak menjadi sumber kebahagiaan, mengapa harta yang kita kumpulkan tidak menjadi sumber kebahagiaan.

Mengapa rupa, penampilan ada juga tidak menjadi sumber kebahagiaan. Saudaraku sekalian, yang menyebabkan kita tidak berbahagia dalam hidup ini, karena justru kita mencari sesuatu tidak kepada yang bisa memberikan apa yang kita cari. Kita justru meminta dan berharap kepada dia yang lemah dan tidak berdaya, dan dia pun tidak berbahagia.

Kita berlindung, justru kita berlindung kepada yang lemah tiada berdaya, yang tidak sanggup menolak petaka dan bencana bagi yang menimpa dirinya. Kita berkhidmat justru kepada yang seharusnya menjadi pelayan kita. Kita mengabdi kepada justru yang menjadi pelayan kita. Kita mengabdi kepada harta, kedudukan yang Allah ciptakan justru semua itu justru menjadi pelayan kita

Hikmah, Risalah dan Keutamaan Berkurban

Hikmah Qurban
Setiap ibadah pasti ada hikmahnya, meskipun tidak semua orang dapat mengetahui hikmah tersebut melalui penalaran akal pikirannya. Hanya Allah sendiri yang mengetahui rahasia dan hikmah seluruh ajaran agama yang diturunkan-Nya. Hikmah-hikmah Allah sendiri tersebut ada yang diungkap dalam kitab suci Al-Quran atau sunnah Rasul, ada pula yang tidak disinggung sama-sekali. Bagian hikmah yang tidak disinggung ini, hanya dapat diketahui dan dihayati oleh kalangan tertentu, yang dalam Al-Quran dinamakan Arrasikhuuna fil-‘ilmi, yakni mereka yang kuat imannya dan kelebihan ilmu oleh Allah, yang tidak diberikan kepada orang lain 
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
 (QS: Ali Imran, (3):7)
Di antara hikmah ibadah Qurban, ialah untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorangpun dapat menghitungnya 
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS Ibrahim, (14):34).

Kamis, 03 November 2011

PERBUATAN ZAHIR DAN SUASANA HATI

Imam Ibnu Athoilah ra.






SEBAGIAN DARI TANDA BERSANDAR KEPADA AMAL (PERBUATAN ZAHIR) ADALAH BERKURANGAN HARAPANNYA (SUASANA HATI) TATKALA BERLAKU PADANYA KESALAHAN.
Imam Ibnu Athaillah memulakan Kalam Hikmat beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal boleh dibahagikan kepada dua jenis yaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati atau suasana hati berhubung dengan perbuatan zahir itu. Beberapa orang boleh melakukan perbuatan zahir yang serupa tetapi suasana hati berhubung dengan perbuatan zahir itu tidak serupa. Kesan amalan zahir kepada hati berbeza antara seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan zahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun ianya amalan batin. Hati yang bebas daripada bersandar kepada amal sama ada amal zahir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan meletakkan pergantungan kepada-Nya tanpa membawa sebarang amal, zahir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sebarang takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, zahir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi perantaraan di antaranya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia. Allah s.w.t Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh sesiapa dan sesuatu. Apa sahaja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada had, sempadan dan perbatasan. Oleh kerana itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sempadan yang mengongkong ketuhanan Allah s.w.t atau ‘memaksa’ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk di belakang. Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu.Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang zahir mahu pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan zahir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat. Kedua-dua jenis manusia tersebut berkepercayaan bahawa amalannya menentukan apa yang mereka akan perolehi baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia hilang atau kurang pergantungan dengan Tuhan. Pergantungan mereka hanyalah kepada amalan semata-mata ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, pergantungan itu bercampur dengan keraguan. Seseorang manusia boleh memeriksa diri sendiri apakah kuat atau lemah pergantungannya kepada Allah s.w.t. Kalam Hikmat 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenainya. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa daripada rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya pergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:


“Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. ( Ayat 87 : Surah Yusuf )
Ayat di atas menceritakan bahawa orang yang beriman kepada Allah s.w.t meletakkan pergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimana sekali pun. Pergantungan kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-kadang apa yang diingini, dirancangkan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperolehi apa yang dihajatkan bukan bermakna tidak mendapat rahmat Allah s.w.t. Apa juga yang Allah s.w.t lakukan kepada orang yang beriman pasti terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak menyampaikan hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa. Mereka yakin bahawa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.

Ar Rahman Ar Rahim ( Seri Asma'ul Husna 1)

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ 
Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Qs Al Hasyr (59):22)

Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama Allah yang amat dominan, karena kedua nama inilah yang ditempatkan menyusul penyebutan nama Allah. Ini pula agaknya, yang menjadi sebab sehingga Nabi Saw melukiskan setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanir Rahim adalah buntung, hilang berkatnya. Basmalah yang diperintahkan itu mengandung dalam kalimatnya kedua nama tersebut, dan dengan susunan penyebutan sifat Allah seperti dikemukakan di atas.
Di dalam Alqur’an kata Ar-Rahman terulang sebanyak 57 kali, sedangkan Ar-Rahim sebanyak 95 kali.
Banyak ulama berpendapat bahwa kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata yang sama, yakni rahmat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kata Ar-Rahman tidak berakar kata, dan karena itu pula -lanjut mereka-, orang-orang musyrik tidak mengenal siapa Ar-Rahman. Ini terbukti dengan membaca Firman-Nya,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا
“ Apabila diperintahkan kepada mereka sujudlah kepada Ar-Rahman, mereka berkata/bertanya: Siapakah Ar-Rahman itu? Apakah kami bersujud kepada sesuatu yang engkau perintahkan kepada kami? Perintah ini menambah mereka enggan/menjauhkan diri dari keimanan” (Q.s. Al-Furqan (25):60).
Demikian juga ketika terjadi Perjanjian Alhudaibiyah, Nabi Saw memerintahkan menulis Basmalah, tetapi pemimpin delegasi musyrik Mekkah – Suhail bin ‘Amer – menolak kalimat tersebut dengan alasan, “Kami tidak mengetahui Bismillahirrahmanirrahim, tetapi tulislah Bismika Allahuma (Dengan nama-Mu Ya Allah)”.
Demikian juga ketika orang-orang musyrik Mekkah mendengar kaum muslimin mengucapkan Basmalah – dimana terdapat kata Ar-Rahman, mereka berkata, “Kami tidak mengenal Ar-Rahman kecuali Musalimah”, yakni seorang yang mengaku nabi pada masa Rasul Saw dan menamakan dirinya Ar-Rahman”.
Alqur’an melukiskan sikap kaum musyrik dan penjelasan Allah tentang Ar-Rahman bahwa, “Demikianlah kami telah mengutus engkau kepada suatu ummat yang telah mendahului mereka ummat-ummat (lainnya) supaya engkau membacakan kepada mereka yang Kami wahyukan kepadamu (Alqur’an) padahal mereka ingkar kepada Ar-Rahman.
كَذَلِكَ أَرْسَلْنَاكَ فِي أُمَّةٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهَا أُمَمٌ لِتَتْلُوَ عَلَيْهِمُ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ

Demikianlah, Kami telah mengutus kamu pada suatu umat yang sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumnya, supaya kamu membacakan kepada mereka (Al Qur'an) yang Kami wahyukan kepadamu, padahal mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah: "Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertobat". (Q.s. Ar-Ra’ ad 13:30).