".....orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram" (13:28) ".........(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih..(29:88-89)

Kamis, 03 November 2011

Ar Rahman Ar Rahim ( Seri Asma'ul Husna 1)

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ 
Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Qs Al Hasyr (59):22)

Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama Allah yang amat dominan, karena kedua nama inilah yang ditempatkan menyusul penyebutan nama Allah. Ini pula agaknya, yang menjadi sebab sehingga Nabi Saw melukiskan setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanir Rahim adalah buntung, hilang berkatnya. Basmalah yang diperintahkan itu mengandung dalam kalimatnya kedua nama tersebut, dan dengan susunan penyebutan sifat Allah seperti dikemukakan di atas.
Di dalam Alqur’an kata Ar-Rahman terulang sebanyak 57 kali, sedangkan Ar-Rahim sebanyak 95 kali.
Banyak ulama berpendapat bahwa kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata yang sama, yakni rahmat, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kata Ar-Rahman tidak berakar kata, dan karena itu pula -lanjut mereka-, orang-orang musyrik tidak mengenal siapa Ar-Rahman. Ini terbukti dengan membaca Firman-Nya,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا
“ Apabila diperintahkan kepada mereka sujudlah kepada Ar-Rahman, mereka berkata/bertanya: Siapakah Ar-Rahman itu? Apakah kami bersujud kepada sesuatu yang engkau perintahkan kepada kami? Perintah ini menambah mereka enggan/menjauhkan diri dari keimanan” (Q.s. Al-Furqan (25):60).
Demikian juga ketika terjadi Perjanjian Alhudaibiyah, Nabi Saw memerintahkan menulis Basmalah, tetapi pemimpin delegasi musyrik Mekkah – Suhail bin ‘Amer – menolak kalimat tersebut dengan alasan, “Kami tidak mengetahui Bismillahirrahmanirrahim, tetapi tulislah Bismika Allahuma (Dengan nama-Mu Ya Allah)”.
Demikian juga ketika orang-orang musyrik Mekkah mendengar kaum muslimin mengucapkan Basmalah – dimana terdapat kata Ar-Rahman, mereka berkata, “Kami tidak mengenal Ar-Rahman kecuali Musalimah”, yakni seorang yang mengaku nabi pada masa Rasul Saw dan menamakan dirinya Ar-Rahman”.
Alqur’an melukiskan sikap kaum musyrik dan penjelasan Allah tentang Ar-Rahman bahwa, “Demikianlah kami telah mengutus engkau kepada suatu ummat yang telah mendahului mereka ummat-ummat (lainnya) supaya engkau membacakan kepada mereka yang Kami wahyukan kepadamu (Alqur’an) padahal mereka ingkar kepada Ar-Rahman.
كَذَلِكَ أَرْسَلْنَاكَ فِي أُمَّةٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهَا أُمَمٌ لِتَتْلُوَ عَلَيْهِمُ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ

Demikianlah, Kami telah mengutus kamu pada suatu umat yang sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumnya, supaya kamu membacakan kepada mereka (Al Qur'an) yang Kami wahyukan kepadamu, padahal mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah: "Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku bertobat". (Q.s. Ar-Ra’ ad 13:30).
Itulah sebagian alasan mereka yang berpendapat bahwa Ar-Rahman tidak memiliki akar kata. Sementara ulama penganut paham ini melanjutkan bahwa kata Ar-Rahman, pada hakekatnya terambil dari bahasa Ibrani dan karena itu kata tersebut dalam Basmalah dan dalam surah Al-Fatihah disusul dengan kata Ar-Rahim, untuk memperjelas maknanya.
Banyak ulama yang berperndapat bahwa baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim keduanya terambil dari akar kata “rahmat”, dengan alasan bahwa “timbangan” kata tersebut dikenal dalam bahasa Arab. Rahman setimbang dengan fa’lan dan Rahim dengan fa’il. Timbangan “fa’lan” biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan atau kesementaraan. Sedangkan timbangan “fa’il” menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan. Itu salah satu sebab, sehingga tidak ada bentuk jamak dari kara rahman, karena kesempurnaannya itu. Dan tidak ada juga yang wajar dinamai Rahman kecuali Allah SWT. berbeda dengan kata Rahim, yang dapat dijamak dengan Ruhama, sebagaimana ia dapat menjadi sifat Allah dan juga sifat makhluk. Dalam Alqurán kata “rahim” digunakan unutk menunjuk sifat Rasul Muhammad Saw yang menaruh belas kasih yang amat dalam terhadap ummatnya, sebagaimana bunyi firman Allah:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.. (Q.s. At-Taubah (9):128).

Allah Swt dinamai juga dengan “Ärhamurrahimin”, Yang paling Pengasih di antara seluruh yang Rahim/Pengasih, bahkan oleh Alqurán Dia disifati pula sebagai “Khairur Rahimin”, Sebaik-baik Pengasih 
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
Dan katakanlah: "Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik."(Q.s. Al-Mukminun (23):118)
.
Ar-Rahman, -seperti dikemukakan di atas- tidak dapat disandang kecuali oleh Allah Swt. karena itu pula ditemukan dalam ayat Alqur’an yang mengajak manusia menyembah-Nya dengan menggunakan kata Ar-Rahman – sebagai ganti kata Allah atau menyebut kedua kata tersebut sejajar dan bersamaan. Perhatikan firman-firman-Nya berikut:

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا
“Katakanlah; serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaul husna nama-nama yang terbaik”. (Q.s. Al-Isra’17:110).
وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِنْ دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

“Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu. Ädakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah)?” (Q.s. Az-Zukhruf  (43):45).
Kita semua mengetahui bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah, dan bahwa lafaz Allah hanya khusus tertuju kepada Tuhan Yang berhak disembah dan Maha Esa itu. Tetapi kedua ayat diatas menggunakan kata Ar-Rahman untuk yang berhak disembah mempersamakannya dengan lafaz Allah. Semua itu menunjukkan bahwa kata Ar-Rahman hanya khusus digunakan untuk Tuhan Yang Maha Esa, tidak untuk selain-Nya.
Penulis cenderung menguatkan pendapat yang menyatakan baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim terambil dari akar kata Rahmat. Dalam salah satu hadist qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman:
“Aku adalah Ar-Rahman, Aku menciptakan rahim, kuambilkan untuknya nama yang berakar dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya (silaturrahim) akan Ku-sambung (rahmat-Ku) untuknya dan siapa yang memutuskannya Kuputuskan (rahmat-Ku baginya). (H.r. Abudaud dan Attirmizi melalui Abdurrahman bin ‘Áuf).
Menurut pakar bahasa Ibnu Faris (w. 395 H) semua kata yang terdiri dari huruf-huruf Ra’ Ha’ dan Mim, mengandung makna “kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan”. Hubungan silaturahim adalah hubungan kasih sayang. Rahim adalah peranakan/kandungan yang melahirkan kasih sayang. Kerabat juga dinamai rahim, karena kasih sayang yang terjalin diantara anggota-anggotanya.
Rahmat lahir dan nampak dipermukaan bila ada sesuatu yang dirahmati dan setiap yang dirahmati pastilah sesuatu yang butuh, karena itu yang butuh tidak dapat dinamai rahim. Di sisi lain siapa yang bermaksud memenuhi kebutuhan pihak lain tetapi secara faktual dia tidak melaksanakannya, maka ia juga dapat dinamai Rahim. Bila itu tidak terlaksana karena ketidakmampuannya, maka boleh jadi dia dinamai rahim, ditinjau dari segi kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan yang menyentuh hatinya. Tetapi yang demikian ini adalah sesuatu yang tidak sempurna.
Rahmat yang menghiasi diri seseorang, tidak luput dari rasa pedih yang dialami oleh jiwa pemiliknya. Rasa itulah yang mendorongnya untuk mencurahkan rahmat kepada yang dirahmati. Rahmat dalam pengertian demikian adalah rahmat makhluk, Al-Khaliq (Allah) tidak demikian. Seperti -tulis Al-Ghazali- “Jangan Anda duga bahwa hal ini mengurangi makna rahmat Tuhan, bahkan di sanalah kesempurnaannya. Rahmat yang tidak dibarengi oleh rasa pedih – sebagaimana rahmat Allah – tidak berkurang karena kesempurnaan rahmat yang ada di dalam, ditentukan oleh kesempurnaan buah/hasil rahmat itu saat dianugerahkan kepada yang dirahmati dan betapapun Anda memenuhi secara sempurna kebutuhan yang dirahmati, yang bersangkutan ini tidak merasakan sedikitpun apa yang dialami oleh yang memberinya rahmat. Kepedihan yang dialami oleh sipemberi merupakan kelemahan makhluk”. Adapun yang menunjukkan kesempurnaan rahmat Ilahi walaupun Yang Maha Pengasih itu tidak merasakan kepedihan, maka menurut Imam Al-Ghazali adalah karena makhluk yang mencurahkan rahmat saat merasakan kepedihan itu, hampir-hampir saja dapat dikatakan bahwa saat ia mencurahkannya – ia sedang berupaya untuk menghilangkan rasa pedih itu dari dirinya, dan ini berarti bahwa pemberiannya tidak luput dari kepentingan dirinya. Hal ini mengurangi kesempurnaan makna rahmat, yang seharusnya tidak disertai dengan kepentingan diri, tidak pula untuk menghilangkan rasa pedih tetapi semata-mata demi kepentingan yang dirahmati. Demikianlah Rahmat Allah Swt.
Pemilik rahmat yang sempurna adalah yang mengkehendaki dan melimpahkan kebajikan bagi yang butuh serta memelihara mereka. Sedang Pemilik rahmat yang menyeluruh adalah yang mencurahkan rahmat kepada yang wajar maupun yang tidak wajar menerimanya.
Rahmat Allah bersifat sempurna karena setiap Dia menghendaki tercurahnya rahmat, seketika itu juga rahmat tercurah. Rahmat-Nyapun bersifat menyeluruh karena ia mencakup yang berhak maupun yang tidak berhak serta mencakup pula aneka macam rahmat yang tidak dapat dihitung atau dinilai.
Kata rahmat dapat dipahami sebagai sifat zat dan karena itu rahman dan rahim merupakan sifat zat Allah Swt. dan dapat juga dipahami dalam arti sesuatu yang dicurahkan. Bila demikian rahmat menjadi sifat perbuatan-Nya. Ketika Anda berdoa seperti yang diajarkan Alqurán surah Ali-Imran 3:8; “Wa Hab lana Min Ladunka rahmatan,” anugerahkanlah bagi kami dari sisi-Mu rahmat; maka kata rahmat di sini merupakan sesuatu yang dicurahkan Allah, bukan merupakan sifat Zat-Nya, karena sifat zat tidak dapat dianugerahkan.
Apakah sama makna Rahman dan Rahim? Ada yang mempersamakannya, namun pandangan ini tidak banyak didukung oleh ulama. Dua kata yang seakar, bila berbeda timbangan pasti mempunyai perbedaan makna dan bila salah satunya memiliki huruf berlebih maka biasanya kelebihan huruf menunjukkan kelebihan makna. “Ziyadatul mabna yadllu ‘ala ziyadatil ma’na”. demikian bunyi kaedah yang mendukung pandangan di atas. Jika demikian apa perbedaan antara Rahman dan Rahim? Banyak ragam jawaban terhadap pertanyaan ini.
Imam Ghazali dalam bukunya “Almaqshad All-A’la” setelah menjelaskan bahwa kata Rahman merupakan kata khusus yangmenunjuk kepada Allah dan kata Rahim bisa disandang oleh Allah dan selain-Nya. Maka berdasar pembedaan itu Hujjatul Islam ini berpendapat bahwa rahmat yang dikandung oleh kata Rahman seyogyanya merupakan rahmat yang khusus dan yang tidak dapat diberikan oleh makhluk, yakni yang berkaitan dengan kebahagiaan ukhrawi. Sehingga Ar-Rahman adalah Tuhan Yang Maha Kasih terhadap hamba-hamba-Nya melalui beberapa tahapan proses. Pertama dengan penciptaan, kedua dengan petunjuk hidayat meraih iman dan sebab-sebab kebahagiaan, ketiga dengan kebahagiaan ukhrawi yang dinikmati kelak, serta keempat adalah kenikmatan memandang wajah-Nya (di hari kemudian). Pendapat imam Ghazali di atas, tidak memuaskan, karena dengan demikian, makhluk-makhluk lain yang tidak dibebani taklif atau katakanlah tumbuh-tumbuhan dan binatang sama sekali tidak tersentuh oleh rahmat-Nya yang dikandung oleh kata Rahman. Bukankah makhluk-makhluk itu tidak akan meraih surga apalagi memandang wajah-Nya kelak?
Pendapat lain dikemukakan oleh mereka yang melakukan tinjauan kebahasaan. Seperti dikemukakan sebelum ini bahwa “timbangan fa’lan” biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan dan atau kesementaraan, sedang timbangan Fa’il menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan. Karena itu Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa Rahman adalah rahmat Tuhan yang sempurna tapi sifatnya sementara dan yang dicurahkan-Nya kepada semua makhluk. Kata ini dalam pandangan Abduh adalah kata yang menunjuk sifat Fi’il/perbuatan Tuhan. Dia Rahman, berarti Dia mencurahkan rahmat yang sempurna tetapi bersifat sementara/tidak langgeng. Ini antara lain dapat berarti bahwa Allah mencurahkan rahmat yang sempurna dan menyeluruh, tetapi tidak langgeng terus menerus. Rahmat menyeluruh tersebut menyentuh semua manusia -mukmin atau kafir- bahkan menyentuh seluruh makhluk di alam raya, tetapi karena ketidak lenggengan/kesementaraanny
a, maka ia hanya berupa rahmat di dunia saja. Bukankah rahmat di dunia menyentuh semua makhluk, begitu juga rahmat yang diraih di dunia tidak bersifat abadi? Adapun kata Rahim yang patronnya menunjukkan kemantapan dan kesinambungan, maka ia menunjuk kepada sifat zat Allah atau menunjukkan kepada kesinambungan dan kemantapan nikmatnya. Kemantapan dan kesinambungan hanya dapat wujud di akhirat kelak. Di sisi lain rahmat ukhrawi hanya diraih oleh orang taat dan bertaqwa: 
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah; “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikelurkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”. Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.s. Al-A’raaf (7):32).
Karena itu rahmat yang dikandung oleh kata Rahim adalah rahmat ukhrawi yang akan diraih oleh yang taat dan bertaqwa kepada-Nya.
Ada juga yang berpendapat bahwa kata Rahman menunjuk kepada Allah dari sudut pandang bahwa Dia mencurahkan rahmat secata faktual. Sedangkan rahmat yang disandang-Nya dan yang melekat pada diri-Nya menjadikan Dia berhak menyandang sifat Rahim, sehingga dengan gabungan kedua kata itu tergambarlah di dalam benak bahwa Allah Rahman (mencurahkan rahmat kepada seluruh makhluk-Nya) karena Dia Rahim; Dia adalah wujud/zat Yang memiliki sifat rahmat.
Memang sekali-sekali boleh jadi seorang yang bersifat kikir, mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang lain. Di sini bantuan yang diberikannya itu tidak mengubah kepribadiaannya yang kikir; bantuan yang diberikannya itu tidak bersumber dari sifat pribadinya yang sesungguhnya. Berbeda dengan seorang pemurah yang ketika mengulurkan bantuan. Dengan kata Ar-Rahman tergambar bahwa Allah mencurahkan rahmat-Nya dan dengan Ar-Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya.
Penyebutan Ar-Rahim setelah Ar-Rahman sebagaimana halnya dalam surah Al-Fatihah, bertujuan menjelaskan bahwa anugerah Allah apapun bentuknya sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu pamrih, tetapi semata-mata lahir dari sifat rahmat dan kasih sayang-Nya yang telah melekat pada diri-Nya.
Rahmat Allah tidak terhingga bahkan dinyatakan: “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu”(Q.s. Al-Araf 7:156); dan dalam sebuah hadist qudsi Allah berfirman, “Sesungguhnya rahmat-Ku mengatasi/mengalahkan amarah-Ku”. (H.R. Bukhari dan Muslim dai Abu Hurairah).
Ar-Rahman dan Ar-Rahim seperti dikemukakan di atas berakar dari kata rahim yang juga telah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia.
Apabila disebutkan kata rahim, maka yang terlintas di dalam benak adalah ibu yang memiliki anak dan pikiran ketika itu akan melayang kepada kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya. Tetapi, jangan diduga bahwa sifat rahmat Tuhan sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu. Bukankah kita harus meyakini bahwa Allah adalah wujud yang tidak kita memiliki persamaan dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya dengan siapapun dalam kenyataan hidup atau dalam khayalan?
Rasulullah Saw memberikan suatu ilustrasi menyangkut besarnya rahmat Allah sebagai dituturkan oleh Abu hurairah:
Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Allah SWT menjadikan rahmat itu seratus bagian, disimpan disisi-Nya Sembilan puluh Sembilan dan diturunkan-Nya ke bumi ini satu bagian; yang satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk, (yang tercermin antara lain) pada seekor binatang yang mengangkat kakinya dari anaknya terdorong oleh rahmat kasih sayang, kuatir jangan sampai menyakitinya.(H.R. Muslim).
Kini kita bertanya, apakah buah yang dihasilkan oleh ucapan yang lahir dari lubuk hati? Ketika seseorang membaca Ar-Rahman dan atau Ar-Rahim maka diharapkan jiwanya akan dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang dan saat itu rahmat dan kasih sayang akan memancar dalam bentuk perbuatan-perbuatan. Bukankah perbuatan merupakan cerminan dari gejolak jiwa? Bukankah seseorang sedang dirundung kesedihan atau kesakitan, keindahan dapat dianggapnya keburukan? Tidakkah kalau ia sedang dimabuk asmara, segalanya terlihat indah? Bukankah “Setiap wadah menumpahkan isinya”. Sebuah gelas berisi sirup, jangan duga akan ada yang tumpah selain sirup.
Di atas telah dikemukakan pendapat-pendapat menyayangkan perbedaan antara Rahman dan Rahim. Menurut Al-Ghazali buah yang dihasilkan oleh Rahman pada aktivitas seseorang adalah bahwa “ia akan merasakan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantar yang bersanguktan untuk mengalihkan mereka dari jalan kelengahan, menuju Allah. Dengan memberinya nasehat secara lemah lembut – tidak dengan kekerasan, memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang- bukan dengan gangguan. Memandang setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya, bagai kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak menyisihkan sedikit upaya apapun untuk menghilangkannya sesuai kemampuannya – sebagai pengejewantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisi-Nya”.
Sedang buah Ar-Rahim menurut Al-GHazali adalah, “Tidak membiarkan seorang yang butuh kecuali berupaya memenuhi kebutuhannya, tidak juga membiarkan seorang fakir disekililingnya atau di negerinya kecuali dia berusaha untuk membantu dan menampik kefakirannya, dengan harta, kedudukan, atau berusaha melalui orang ketiga, sehingga terpenuhi kebutuhannya. Kalau semua itu tidak berhasil ia lakukan, maka hendaklah ia membantunya dengan doa serta menampakkan rasa kesedihan dan kepedihan atas penderitaanaya. Itu semua, sebagai tanda kasih sayang dan dengan demikian ia bagaikan serupa dengan yang dikasihnya itu dalam kesulitan dan kebutuhan. Demikian Al-Ghazali.
Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah Rahman (Pemberi Rahmat) karena Dia Rahim (melekat pada dirinya sifat rahmat), akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya. Selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya kepada siapapun dan dimanapun. Kalaupun terdapat perbedaan dalam perolehan cahaya dan kehangatan, maka itu lebih banyak disebabkan oleh posisi penerima bukan posisi pemberi, karena matahari selalu konsisten dalam perjalannya lagi memiliki aturan atau hukum-hukum yang tidak berubah. Itulah buah yang diharapkan dari bacaan Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Diambil dari karya M Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Illahi (dalam blog didaytea)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar